Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an
Al Qur’an secara umum dan dalam
banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki-
laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan
bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya
pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan
masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam QS. Al- Nisa,
yang memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan harus di hormati,
yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, telah
turun dua surat yang sama-sama membicarakan wanita, yaitu surat Al-Mumtahanah
dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya belum final, hingga diturunkan surat
al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat Al-Nisa’ al-Kubro,
sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti surat al-Tholak,
disebut surat al-Nisa’ al Sughro. Surat Al Nisa’ ini benar- benar memperhatikan
kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang yang lemah
akalnya, dan kaum perempuan.
Maka, pada ayat pertama surat al-Nisa’ kita
dapatkan, bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan
sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika beramal sholeh, pasti
akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang
satu (nafsun wahidah), yang mengisyaratkan bahwa tidak ada
perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai
kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya (ittaqu robbakum).
Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an
tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala
hal.Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu
yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa
itu, dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur. Oleh karenanya,
sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda,
bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan
tetapi juga pada emosional dan komposisi kimia dalam tubuh.
Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan
dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis.
Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana
anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah
keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda-
beda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu
yang sangat kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan
kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang. Al Qur’an
telah meletakkan batas yang jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya
adalah ayat- ayat yang terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang
menyinggung konsep pernikahan poligami, hak waris dan dalam menentukan
tanggungjawab di dalam masyarakat dan keluarga.
C. Pandangan Ulama Kontemporer Tentang
Kepemimpinan Wanita
Ulama
kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki pandangan dan pendapat yang
berbeda terhadap kepemimpinan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan
bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin
bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir
surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai
orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan
penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian
yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik
daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum
laki-laki.
Laki-laki
menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini adalah kepemimpinan dirumah
tangga, karena laki-laki telah menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan
tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka. Tafsir ibnu katsir
ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang dalam kepemimpinan politik, yang
dilarang adalah kepemimpinan wanita dalam puncak tertinggi atau top
leader tunggal yang mengambil keputusan tanpa bermusyawarah, dan
juga wanita dilarang menjadi hakim. Hal inilah yang mendasari Qardhawi memperbolehkan
wanita berpolitik.Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk saling bekerjasama untuk mengisi kekurangan satu dengan yang lainnya, sebagai mana di jelaskan dalam surat At-Taubah ayat 71 yang berbunyi:
Artinya: ”Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar