Text Widget

Disiplin, Jujur, Ilmu, Taqwa, Ulet

10 November 2016

Kesetaraan Gender Dalam Islam












Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an
Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam QS. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang  mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, telah turun dua surat yang sama-sama membicarakan wanita, yaitu surat Al-Mumtahanah dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya belum final, hingga diturunkan surat al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat Al-Nisa’ al-Kubro, sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti surat al-Tholak, disebut surat al-Nisa’ al Sughro. Surat Al Nisa’ ini benar- benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan.
Maka, pada ayat pertama surat al-Nisa’ kita dapatkan, bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika beramal sholeh, pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu  (nafsun wahidah), yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya (ittaqu robbakum).
Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu, dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur.  Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan  komposisi kimia dalam tubuh.
Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang.  Al Qur’an telah meletakkan batas yang jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat- ayat yang terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang menyinggung konsep pernikahan poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di dalam masyarakat dan keluarga.
C.  Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Kepemimpinan Wanita
Ulama kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda terhadap kepemimpinan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki.
Laki-laki menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini adalah kepemimpinan dirumah tangga, karena laki-laki telah menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka. Tafsir ibnu katsir ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang dalam kepemimpinan politik, yang dilarang adalah kepemimpinan wanita dalam puncak tertinggi atau top leader tunggal yang mengambil keputusan tanpa bermusyawarah, dan juga wanita dilarang menjadi hakim. Hal inilah yang mendasari Qardhawi memperbolehkan wanita berpolitik.
Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk saling bekerjasama untuk mengisi kekurangan satu dengan yang lainnya, sebagai mana di jelaskan dalam surat At-Taubah ayat 71 yang berbunyi:

 
Artinya: ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar